
mostmetro.net – Mendaki Gunung Everest selalu menjadi impian banyak pendaki di seluruh dunia. Gunung tertinggi di planet ini adalah simbol puncak tantangan dan kekuatan alam. Tapi tidak semua kisah tentang Everest berakhir dengan selebrasi. Salah satu momen paling kelam yang pernah tercatat dalam sejarah pendakian adalah Tragedi Gunung Everest 1996.
Hari-hari itu, di bulan Mei yang biasanya menjadi musim pendakian, cuaca berubah dengan cepat dan membawa bencana bagi dua tim ekspedisi komersial yang tengah mencoba mencapai puncak. Banyak nyawa hilang. Banyak pertanyaan menggantung di udara tipis Pegunungan Himalaya.
Baca Juga: Bencana Minamata: Tragedi Lingkungan yang Mengubah Dunia
Apa Itu Tragedi Gunung Everest 1996?
Pada tanggal 10 dan 11 Mei 1996, dua tim ekspedisi yang terdiri dari pendaki berpengalaman dan klien-klien yang membayar mahal untuk mencapai puncak Everest terjebak dalam badai salju yang ganas. Badai datang tiba-tiba dan menurunkan suhu secara ekstrem. Arah angin berubah liar, jarak pandang menjadi sangat terbatas.
Tragedi Gunung Everest ini menjadi terkenal karena jumlah korban dan juga karena melibatkan ekspedisi komersial yang sangat populer saat itu. Dua tim utama berasal dari perusahaan pendakian Adventure Consultants yang dipimpin Rob Hall, serta Mountain Madness yang dipimpin Scott Fischer. Keduanya dikenal sebagai pemandu gunung profesional yang sangat dihormati.
Namun pada saat itu, meskipun pengalaman tidak diragukan, kondisi ekstrem dan sejumlah keputusan yang dianggap terlambat membuat situasi berubah drastis.
Baca Juga: Tragedi Kapal Sewol: Bencana yang Mengguncang Korea Selatan
Latar Belakang dan Musim Pendakian
Setiap tahun, antara akhir April hingga awal Juni, Gunung Everest mengalami jendela cuaca yang relatif stabil. Waktu inilah yang dimanfaatkan oleh banyak pendaki untuk mencoba mencapai puncak. Tapi cuaca di Himalaya tidak pernah bisa benar-benar ditebak.
Pada musim semi 1996, Gunung Everest dipadati oleh banyak ekspedisi. Fenomena pendakian komersial sedang naik daun. Banyak orang dari berbagai negara, bahkan dengan pengalaman mendaki terbatas, mendaftar pada agen ekspedisi dengan biaya puluhan ribu dolar untuk bisa ikut tim ke puncak dunia.
Tragedi Gunung Everest 1996 menjadi peringatan serius bagi dunia pendakian bahwa pegunungan tidak mengenal kompromi. Tidak peduli seberapa mahal biayanya, alam tetap punya aturan sendiri.
Kronologi Singkat Tragedi
Pada 10 Mei 1996, dua tim besar memulai pendakian ke puncak sejak dini hari. Biasanya, pendaki dijadwalkan mencapai puncak sekitar pukul 13.00 dan mulai turun sebelum cuaca berubah. Namun pada hari itu, banyak pendaki yang masih belum sampai ke puncak hingga lewat dari waktu yang disarankan.
Cuaca yang awalnya cukup bersahabat tiba-tiba berubah drastis pada sore harinya. Badai salju datang cepat. Banyak pendaki berada di atas 8.000 meter, wilayah yang dikenal sebagai zona kematian karena udara yang sangat tipis.
Komunikasi terbatas. Jalur yang sempit membuat antrean panjang. Beberapa pendaki kelelahan. Beberapa mulai mengalami gejala hipoksia karena kekurangan oksigen.
Dalam Tragedi Gunung Everest tersebut, delapan pendaki kehilangan nyawa dalam kurun waktu kurang dari dua hari. Angka ini membuat peristiwa ini menjadi salah satu kecelakaan terburuk dalam sejarah Everest hingga saat itu.
Tokoh-Tokoh Utama yang Terlibat
Salah satu nama yang paling dikenal dalam Tragedi Gunung Everest 1996 adalah Rob Hall. Ia adalah pendaki asal Selandia Baru, pemimpin tim Adventure Consultants. Rob dikenal karena keahliannya sebagai pemandu gunung dan reputasinya dalam dunia pendakian.
Ia sempat berhasil membawa beberapa kliennya sampai ke puncak. Namun ia tertinggal karena menemani salah satu klien yang mengalami kesulitan saat turun. Keduanya kemudian terjebak badai di ketinggian lebih dari 8.700 meter. Rob sempat melakukan komunikasi radio terakhir dengan istrinya di Selandia Baru sebelum akhirnya meninggal karena hipotermia.
Nama lain yang penting adalah Scott Fischer, pemimpin tim Mountain Madness. Ia dikenal sebagai pendaki kuat dan karismatik. Namun saat kejadian, ia juga dalam kondisi kelelahan hebat. Scott juga tidak selamat dalam tragedi ini.
Selain mereka, ada pula Anatoli Boukreev, pemandu asal Rusia yang tergabung dalam tim Mountain Madness. Ia sempat menjadi tokoh kontroversial karena caranya menangani krisis, tapi juga dipuji karena aksi heroiknya menyelamatkan pendaki lain dalam kondisi ekstrem.
Faktor Penyebab Tragedi Gunung Everest 1996
Banyak pihak mencoba mencari jawaban atas apa yang menyebabkan tragedi ini terjadi. Beberapa hal yang sering disebutkan antara lain:
-
Cuaca buruk yang datang tiba-tiba. Meskipun sudah ada prakiraan cuaca, teknologi saat itu masih terbatas untuk memprediksi kondisi ekstrem secara akurat.
-
Antrean panjang di jalur pendakian. Terjadi kemacetan di dekat puncak yang membuat pendaki tertahan terlalu lama di zona kematian.
-
Waktu pendakian yang terlalu lambat. Banyak pendaki masih berada di atas ketinggian aman setelah waktu yang disarankan.
-
Kelelahan fisik dan psikologis. Ketinggian di atas 8.000 meter sangat menguras energi. Banyak pendaki kehabisan oksigen dan mengalami disorientasi.
-
Tekanan komersial. Sebagian pihak menyebut bahwa ekspedisi komersial terlalu memaksakan kliennya untuk mencapai puncak, meskipun kondisi tidak ideal.
Semua faktor ini bertemu dalam satu waktu yang naas, menghasilkan salah satu bencana gunung tertinggi yang sulit dilupakan.
Liputan Media dan Buku “Into Thin Air”
Tragedi Gunung Everest 1996 mendapat sorotan luas dari media internasional. Salah satu saksi mata penting adalah Jon Krakauer, jurnalis dari majalah Outside yang ikut dalam tim Adventure Consultants.
Krakauer kemudian menulis buku Into Thin Air, yang menjadi buku laris dunia. Dalam buku itu, ia menceritakan secara rinci kronologi, suasana di gunung, serta kritik terhadap sistem ekspedisi komersial. Buku ini memicu perdebatan besar tentang etika pendakian dan keselamatan di gunung tertinggi dunia.
Selain Krakauer, Anatoli Boukreev juga menulis versi ceritanya dalam buku The Climb, sebagai tanggapan atas beberapa hal yang dinilai tidak akurat dalam tulisan Krakauer. Polemik ini memperlihatkan bahwa di balik tragedi besar, selalu ada banyak sudut pandang yang berbeda.
Dampak Jangka Panjang dalam Dunia Pendakian
Setelah Tragedi Gunung Everest 1996, banyak hal berubah dalam industri pendakian. Pemerintah Nepal mulai mempertimbangkan regulasi yang lebih ketat untuk ekspedisi. Beberapa operator komersial meningkatkan standar keamanan dan menyeleksi klien dengan lebih hati-hati.
Diskusi soal etika pendakian, tanggung jawab pemandu, serta pentingnya pengambilan keputusan yang tegas dalam kondisi ekstrem terus bergema. Tragedi ini menjadi semacam pelajaran pahit tentang apa yang bisa terjadi ketika alam tidak diperlakukan dengan respek dan persiapan tidak matang.
Everest Tetap Menjadi Daya Tarik
Meskipun Tragedi Gunung Everest 1996 menjadi peringatan besar, setiap tahun ratusan orang tetap mencoba menaklukkan gunung setinggi 8.848 meter ini. Keindahan, tantangan, dan kebanggaan menjadi salah satu dari sedikit orang yang pernah berdiri di atap dunia tetap menjadi daya tarik utama.
Namun kisah dari tahun 1996 selalu menjadi pengingat bahwa setiap langkah di gunung adalah perjuangan. Di ketinggian ekstrem, keputusan kecil bisa berdampak besar. Dan bahwa di hadapan alam, manusia tetap makhluk kecil yang harus rendah hati.
Everest dalam Budaya Populer
Selain buku Into Thin Air, Tragedi Gunung Everest 1996 juga diangkat ke layar lebar. Film Everest yang dirilis tahun 2015 memperlihatkan kembali kronologi peristiwa tersebut dengan pendekatan sinematik. Film ini menampilkan karakter-karakter seperti Rob Hall, Scott Fischer, Doug Hansen, dan Beck Weathers, pendaki yang selamat dalam kondisi luar biasa.
Film dan buku ini membantu banyak orang yang tidak pernah mendaki untuk memahami betapa kerasnya medan Everest, serta betapa besar risiko yang harus dihadapi. Ini juga memperlihatkan sisi emosional dan kemanusiaan dari tragedi yang jauh dari keramaian kota.